TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Hernia Nukleolus Pulposus adalah suatu
keadaan damana tulang anulus dan nukleus berkurang keelastisannya hingga
mengakibatkan herniasi dari nukleus hingga anulus yang menekan serabut saraf
spinal dan menimbulkan rasa sakit ( Long, 1996)
Hernia Nukleolus Pulposus adalah hernia
yang terjadi pada sumsum tulang belakang. Hernia ini terjadai karena nukleus
pulposus yang berada diantara dua tulang belakang menonjol keluar ( Oswari,
2000 )
Hernia Nukleolus Pulposus adalah herniasi
yang banyak terjadi pada L4 – L5 atau tulang antara L5 – S1 yang menimbulkan
nyeri punggungbawah disertai derajat gangguan sensorik dan motorik ( Brunner
& Suddarth, 2001 )
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hernia Nukleolus
Pulposus adalah suatu keadaan dimana terganggunya saraf-saraf tulang belakang
khususnya daerah lumbal sehingga menyebabkan perasaan nyeri daerah punggung
yang dapat menjalar ke daerah ekstremitas.
B. Patofisiologi
Herniasi
Discus Intervertebralis ke segala arah dapat terjadi akibat trauma atau stres
fisik. Herniasi ke arah superior atau inferior melalui lempeng kartilago masuk
ke dalam korpus vertebra dinamakan sebagai Nodul Schmorl ( biasanya dijumpai
secara insidentil pada gambaran radiologi atau otopsi ). Kebanyakan herniasi
terjadi pada arah posterolateral
sehubungan dengan faktor-faktor : nukleus pulposus yang cenderung
terletak lebih jauh di posterior dan adanya ligamentum longitudinalis posterior
yang cenderung memperkuat anulus fibrosus di posterior tengah. Peristiwa ini
dikenal juga dengan berbagai sebutan lain seperti ; ruptur anulus fibrosus,
hernia nulleus pulposus, ruptur discus,
hernia discuc dan saraf terjepit.
Mula-mula
nukleus pulposus mengalami herniasi melalui cincin konsentrik anulus fibrosus
yang robek, dan menyebabkan cincin lain di bagian luar yang masih intak
menonjol setempat ( Fokal ). Keadaan
seperti ini dinamakan sebagai Protusio Discus. Bila proses tersebut berlanjut,
sebagai materi nukleus kemudian akan menyusup keluar dari discus ( discus
Ekresi ) ke anterior ligamen longitudinalis posterior ( herniasi discus fragmen
bebas ).
Biasanya
protusio ekstraksi discus posterolateral akan menekan akar saraf ipsilateral
pada tempat keluarnya saraf dari kantong deva ( masalnya herniasi discus L4 –
L5 kiri akan menjepit akar saraf L5 kiri
). Jepitan saraf akan menampilkan gejala dan tanda redikuler sesuai dengan
distribusi persarafannya. Herniasi discus sentral yang signifikan dapat melibatkan beberapa
elemen Kauda Equina pada kedua sisi, sehimgga menampilkan rRadiokulopatia
bilateral atau bahkan juga gangguan sfingter seperti retensio urine.
Klasifikasi
Hernia Discus tergantung pada lokasi yang terkena adalah L5, nyeri yang terjadi
di atas sendi sakroiliaka, panggul, lateral paha dan betis, medial kaki ( nyeri
yang menjalar turun dari panggul dan tungkai disebut Ishalgia )
Kelemahannya
dapat mengakibatkan Foot drop dan kerusakan melakukan dorsofleksi kaki dan atau
ibu jari kaki kesukaran berjalan pada
tumit, parastenia terjadi di lateral tungkai bagian distal kaki dan antara ibu
jari tengah kaki. Atropi tidak jelas, refleks biasanya tidak nyata, refleks
lutut atau pergelangan kaki dapat hilang.
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
pada Hernia Nukleolus Pulposus terdiri dari penatalasanaan medis (
penatalaksanaan pembedahan ) dan penatalaksanaan keperawatan pre dan post
oporasi.
a. Penatalaksanaan Medis ( pembedahan ) pada
region lumbal meliputi eksisi discus lumbal melalui Laminectomy posterolateral
dan tehnik Mikrodisektomy baru dan Disektomy perkutaneus. Mikrodisektomy
menggabungkan operasi dengan Mikroskop untuk melihat potongan yang terganggu
dan menekan akar saraf. Ini dilakukan dengan sayatan kecil ( 2,5 cm )dan
kehilangan darah sedikit dan dilakukan sekitar 30 menit. Umumnya menbutuhkan
waktu perawatan di rumah sakit dalam waktu yang pendek dan pasien lebih cepat
pulih.
Disektomy perkutaneus merupakan pengobatan alternatif pada herniasi
potongan Intervertebral pada spinal lumbal tingkat L4 – L5. Salah satu
pendekatan dalam pelaksanaannya denagn
menyayat 2,5 cm daerah di atas kepala Iliaka. Sebuah selang, trokar atau kanul
dimasukkan dengan bantuan sinar X melalui ruang Retroperitoneal untuk masuk ke
dalam ruang diskus. Panjang instrumen harus digunakan untuk mengangkat diskus.
Operasi menggunakan waktu sekitar 15 menit. Kehilangan darah dan nyeri minimal
dan pasien umumnya keluar dalam dua hari setelah pembedahan. Kerugian
prosedur ini meliputi kemungkinan
kerusakan pada lokasi struktur yang
dilalui dalam pembedahan.
b. Penatalaksanaan keperawatan
1. Pre operasi
Kebanyakan
pasien takut dilakukan pembedahan pada bagian spinal. Dan dengan demikian
membutuhkan keyakinan ( bahwa pembedahan tidak melemahkan bagian belakang tubuh
) dan menjelaskan seluruh proses. Bila data dikumpulkan berupa riwayat
kesehatan beberapa keluhan nyeri, parastersia, dan spasme otot perlu dicatat
untuk memberikan dasar sebagai perbandingan setelah pembedahan. Pengkajian pra
operasi harus juga meliputi evaluasi pada gerakan eksstremitas. Demikian pula
fungsi kandung kemih dan usus besar. Untuk memfasilitasi prosedur membalik pra
operasi pasien diajarkan berbalik dengan cara serempak satu kesatuan (
digelinding ) sebagai bagian persiapan pra operasi. Bentuk-bentuk lain cara
yang dilakukan pasca operasi yang harus dilatih sebelum pembedahan adalah nafas
dalam, batuk, dan latihan otot-otot yang akan membantu mempertahankan tonus
otot.
2. Pasca operasi
Setelah
eksisi lumbal discus, maka perlu dilakukan pengecekan dengan sering terhadap
tanda-tanda vital dan luka terhadap adanya perdarahan karena cidera vaskular
adalah komplikasi pembedahan diskus perlu juga dievaluasi sensasi dan kekuatan
motorik pada ekstremitas bawah secara teratur dan spesifik deemikian pula
dengan warna dan temperatur kaki dan sensasi jari-jari kaki. Selain itu penting
juga untuk mengkaji kemungkinan retensi urine. Tanda-tanda yang mungkin ,
terjadi kerusakan neurologik. Dapat diajarkan kepada klien tentang bagaimana
membalikkan tubuh di atas tempat tidur dan dijelaskan agar melkukan latihan
secara rutin. Hindarkan duduk kecuali untuk defekasi. Posisi lutut yang fleksi
sedikit dapat memberikan relaksasi otot bagian belakang tubuh. Klien dibantu
untuk bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain yang bertujuan untuk mengurangi
tekanan. Tetapi lebih dahuklu diyakinkan bahwa tidak ada cidera yang
diakibatkan oleh perpindahan posisi. Membalikkan klien dilakukan dengan tubuh
sebagai kesatuan unit ( digelindingkan ) tanpa adanya lekukan pada bagian
punggung.
D.
Pengkajian
Pengkajian pada
klien dengan Hernia Nukleolus Pulposus menurut Marillyn E. Doenges, 2001 adalah
:
1. Aktivitas/ istirahat
Klien mempunyai riwayat pekerjaa
yang perlu mengangkat benda berat, dudukmengemudi dalam waktu lama. Membutuhkan
papan atau metras keras saat tidur, penurunan rentang gerak dari ektremitas
pada salah satu bagian tubuh. Tidak mampu mekukan aktivitas yang biasanya
dilakukan. Atrofi otot pada bagian tubuh yang terkena dan gangguan dalam
berjalan.
2. Eleminasi
Konstipasi, mengalami kasakitan
dalam defekasi, adanya inkontinensia/ retensi urine.
3. Neurosensori
Kesemutan, kekakuan, kelemahan
tangan dan kaki, penurunan refleks tendon dalam, kkelemahan otot, hipotonia,
nyeri tekan,/ spasme otot paravertebralis dan penurunan persepsi nyeri.
4. Nyeri/ ketidaknyamanan
Nyeri seperti tertusuk pisau
yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, membungkukkan badan,
mengangkat, defekasi, mengangkat kaki, atau fleksi pada leher. Nyeri yang tidak
ada hentinya atau adanya episode nyeri yang lebih berat secara intermitten,
nyeri yang menjalar ke kaki, bokong ( lumbal ) atau bahu/ lengan, kaku pada
leher ( servical ).
Terdengar adanya suara “krek”
saat nyeri bahu timbul/ saat trauma atau merasa “punggung patah”, keterbatasan
untuk mobilisasi/ membungkuk ke depan. Sikap : dengan cara bersandar pada
bagian tubuh yang terkena. Perubahan cara berjalan, berjalan dengan
terpincang-pincang. Pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena.
5. Keamanan
Adanya riwayat masalah
“punggung” yang baru saja
terjadi.
6. Pembelajaran
Gaya hidup monoton atau
hiperaktif.
Rencana pemulangan : mungkin
memerlukan bantuan dalam transportasi, perawatan diri dan menyelesaikan
tugas-tugas rumah.
E.
Pemeriksaan penunjang
1.
Foto Ronsen spinal : memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada
tulang
belakang/ ruang intervertebralis atau
mengesampingkan kecurigaan petologis lain seperti tumor, osteomielitis.
2. Elektromielografi : dapat melokalisasi
lesi pada yingkat akar saraf spinal utama yang terkena
3. Venogram epidural : dapat dilakukan pada
kasus dimana keakuratan dari Miografi terbatas.
4. Fungsi lumbal : mengesampingkan kondisi
yang berhubungan, infeksi, adanya darah.
5. Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat
klaki lurus ke depan ) mendukung diagnosa awal dari herniasi Diskus
Intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6. CT Scan : dapat menunjukkan kanal spinal
yamg mengecil, adanya potensi Discus Intervertebralis.
7. MRI : pemeriksaan non inpasif yang dapat
menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan dan dapat memperkuat bukti
adanya Herniasi Discus.
8. Mielogram : mungkin normal atau
memperlihatkan “penyempitan” dari ruang
discus menentukan lokasi dan ukuran Herniasi secara spesifik.
F. Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang muncul pada Hernia Nukleolus Pulposus adalah :
1. Nyeri akut/ kronis yang dapat dihubungkan
dengan agen pencedera fisik, kompresi saraf, cedera otot.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang dapat
dihubungkan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme otot, terapi restriktif
misalnya : tirah baring, traksi, kerusakan neurovaskuler.
3. Anxietas/ koping, individual, takefektif
yang dapat dihubungkan dengan situasi krisis, ststus sosioekonomik, peran
fungsi gangguan berulang dengan nyeri terus menerus , ketidak adekuatan
relaksasi, latihan sedikit atau tidak sama sekali, ketidak adekuatan metode
koping.
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi,
prognosis dan tindakan yang dapat dihubungkan dengan keselahan informasi,
keselahan interpretasi, informasi kurang mengingat, tidak mengenal
sumber-sumber informasi.
G.
Perencanaan
Setelah diagnosa
keperawatan ditemukan dilanjutkan dengan penyusunan rencana untuk masing-masing
diagnosa yang meliputi prioritas dagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan
kriteria evaluasi sebagai berikut :
1. Nyeri akut/ kronis yang dapat dihubungkan
dengan agen pencedera fisik, kompresi saraf, spasme otot
Tujuan :
Nyeri akut/ kronis hilang/ berkurang
Kriteria hasil :
a). Klien tampak rileks dan
melaporkan nyeri hilang/ berkurang
b). Mengungkapkan metode yang memberikan
penghilangan.
c). Mendemonstrasikan penggunaan intervensi
terapeutik ( mis : keterampilan relaksasi modifikasi prilaku ) untuk
menghilankan nyeri.
Intervensi keperawatan :
a). Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus/
yang memperberat. Minta pasien untuk menetapkan pada skala 0 – 10
b). Mempertahan tirah baring selama fase akut.
Letakkan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggan dan lutut
dalam keadaan fleksi; posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala
10º - 30º atau pada posisi lateral.
c). Gunakan logroll ( papan ) selama melakukan
perubahan posisi.
d). Bantu pemasangan brace/ Korset.
e). Batasi aktivitas selama fase akut sesuai
dengan kebutuhan.
f). Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel
panggil dalam batas yang mudah dijangkau oleh pasien.
g). Instruksikan pasien untuk melakukan tehnik
relaksasi/ visualisasi
h). Instruksikan untuk melkukan mekanika tubuh/
gerakan yang tepat.
i). Berikan kesempatan untuk berbicara/
mendengarkan masalah pasien.
Intervensi kolaborasi :
a). Berikan tempat tidur ortopedik/ letakkan papan di bawah kasur/ matras.
b). Berikan obat sesuai dengan kebutuhan.
c). Pasang penyokong fisik seperti Brace lumbal,
Kolar servikal.
d). Pertahankan traksi jika diperlukan.
e). Konsultasikan dengan ahli terapi fisik.
f). Berikan instruksi tertentu pada pasca
prosedur Mielografi jika perlu seperti : jaga jangan sampai aliran terlalu
cepat, posisi tidur datar atau ditinggikan 30º sesuai indikasi selama beberapa
jam.
g). Bantu untuk persiapan pemasangan TENS.
h). Rujuk
ke klinik nyeri
2. Kerusakan
mobilitas fisik yang dapat dihubungkan dengan nyeri dan ketidaknyamanan, spasme
otot terapi restriktif misalnya : tirah baring, trajsi, kerusakan
neurovaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan mobilitas fisik.
Kriteria evaluasi :
a). Klien mengungkapkan pemahaman tentang
situasi/ faktor risiko dan aturan pengobatan individual.
b). Mendemonstrasikan tehnik prilaku yang mungkin
c). Mempetahankan atau meningkatkan kekuatan dan
fungsi bagian tubuh yang sakit dan atau kompensasi.
Intervensi mandiri
:
a). Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi
dengan situasi yang spesifik.
b). Catat respon emosi/ prilaku pada imobilisasi.
Berikan aktivitas yang sesuai dengan pasien.
c). Ikuti aktivitas/ prosedur dengan metode
istirahat. Anjurkan pasien untuk tetap ikutberperan serta dalam aktivitas
sehari-hari dalam keterbatasan individu.
d). Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang
gerak aktif atau pasif.
e). Anjurkan pasien untuk melatih kaki bagian
bawah/ lutut. Nilai adanya edema, erytema pada ekstremitas bawah.
f). Bantu pasien dalam melakukan aktivitas
ambulasi progresif.
g). Demonstrasikan penggunaan alat penolong
seperti alat bantu jalan, tongkat.
h). Berikan perawatan kulit dengan baik, masase
titik yang tertekan setelahsetiap perubahan posisi. Periksa keadaan kulit di
bawah Brace, dengan periode waktu tertentu.
Intervensi Kolaborasi :
a). Berikan obat menghilangkan nyeri kira-kira 30
menit sebelum memindahkan/ melukukan ambulasi pasien.
b). Pakaikan stokoing anti emboli
3. Anxietas/ koping, individual, takefektif yang
dapat dihubungkan dengan krisis situasi, status sosioekonomi, peran fungsi.
Gangguan berulang dengan situasi nyeri terus menerus, ketidak adekuatan
relaksasi, latihan sedikit atau tidak sama sekali, ketidak adekuatan metode
koping.
Tujuan : Cemas/
anxietas hilang/ berkurang.
Kriteria evaluasi :
a). Klien tampak rileks dan melaporkan anxietas
berkurang pada tingkat dapat diatasi.
b). Mengidentifikasi ketidak efektifan prilaku
koping dan konsekuensinya.
c). Mengkaji situasi terbaru dengan akurat.
d). Mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalah.
e). Mengembangkan remcana untuk perubahan gaya
hidup yang perlu.
Intevensi mandiri
:
a). Kaji tingkat anxietas pasien.
b). Berikan informasi yang akurat dan jawab
dengan jujur.
c). Berikan kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan masalah yang dihadapinya seperti kemungkinan paralisis, pengaruh
terhadap fungsi seksual, perubahan dalam pekerjaan/ finansial, perubahan peran
dan tanggung jawab.
d). Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin
merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses
penyembuhannya.
e). Catat prilaku dari orang terdekat/ keluarga
yang meningkatkan “peran sakit” pasien.
Intervensi Kolaborasi :
Rujuk pada kelompok penyokong
yang ada, pelayanan sosial, konselor pinansial/ konselor kerja, psikoterapi dan
sebagainya.
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi,
prognosis dan tindakan yang dapat dihubungkan dengan kesalahan informasi,
kesalahan interpretasi, informasi kurang mengingat, tidak mengenal
sumber-sumber informasi.
Tujuan :
Klien mengetahui, mengerti, tentang kondisi, prognosis dan tindakan yang
akan dilakukan.
Kriteria evaluasi
:
a). Klien dapat mengungkapkan pemahaman tentang
kondisi, prognosis dan tindakan.
b). Melakukan kembali perubahan gaya hidup.
c). Berpartisipasi dalam aturan tindakan.
Intervensi mandiri
:
a). Jelaskan kembali proses penyakit dan
prognosis serta pembatasan kegiatan seperti hindari mengemudikan kendaraan
dalam periode waktu yang lama.
b). Berikan
informasi tentang berbagai hal serta instruksikan pasien untuk melakukan perubahan
“dinamika tubuih” tanpa bantuan dan juga
melakukan latihan termasuk informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk
berdiri, mengangkat dan menggunakan sepatu penyokong.
c). Diskusikan mengenai pengobatan dan beberapa
efek sampingnya.
d). Anjurkan untuk menggunakan papan/ matras yang
keras. Bantal kecil yang agak datar di bawah leher, tidur miring dengan lutut
difleksikan hindari posisi terlungkup.
e). Diskusikan mengenai kebutuhan diet.
f). Hindari pemakaian pemanas dalm waktu yang
lama.
g). Lihat kembali pemakaian kolar leher yang
lunak.
h). Anjurkan untuk melakukan evaluasi medis
secara teratur.
i). Berikan informasi mengenai tanda-tanda yang
perlu untuk dilaporkan pada evaluasi berikutnya seperti nyeri tusuk, kehilangan
sensasi/ kemampuan untuk berjalan.
j). Kaji
kemungkina untuk melakukan penanganan alternatif seperti Kemonukleolisis, intevensi pembedahan.
H.
Impelentasi Keperawatan
Implementasi
merupakan tindakan mandiri dasar berdasarkan ilmiah., masuk akal dalam
melaksanakan tindakan keperawatan yang bermanfat bagi klien, berhubungan dengan
dignosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan.. Pelaksanaan merupakan
pengelolaan dan perwujudan dari rencana tindakan keperawatan yang telah disusun
pada tahap perencanaan. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dfapat
berupa tindakan mandiri maupun kolaborasi.
Dalam pelaksanaan
tindakan, langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan
serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu juga dalam
pelaksanaan yang dilakukan pada pasien
dan persepsi pasien harus didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam
pendokumentasian catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah
waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan
sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.
I. Evaluasi
Evaluasi merupan
tahap akhir dari proses keperawatan yang berguna untuk mengukur seberapa jauh
tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai berdasarkan standar/kriteria yang
telah ditetapkan. Evaluasi merupakan aspek penting dalam proses keperawatan
karena menghasilkan kesimpulan apakah intervensi keperawatan diakhiri atau
ditinjau kembali dan dimodifikasi.Evaluasi harus memahami objektifitas,
reliabilitas dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil
tepat.
Evaluasi
keperawatan ada dua macam yaitu evaluasi formatif ( proses ) yaitu evaluasi
yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada
catatan keperawatan. Sedangkan evaluasi
sumatif ( hasil ) adalah evaluasi yang
dilakukan untuk mengikur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan
dan dilakukan pada akhir pemberian asuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. (
2002 ). Text Book of medical – Surgical
Nursing ( Agung, Penerjemah ). Philadelphia
: Raven ( sumber asli diterbitkan 1997 )
Carpenito Lynda Juall. ( 2000 ). Hand
Book of Nursing Diagnosis. ( Monica Ester, Penerjemah) Philadelphia . PA 19106.USA ( sumber asli
diterbitkan 1999 )
Doengoes, m ( 2000 ). Nursing Care
Planns ( I made, Penerjemah ). Philadelphia .
F.A Davis Company. ( sumber asli diterbitkan 2002 )
E. Osuwari ( 2000 ). Bedah dan Perawatannya. Balai Penerbit FKUI Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar