TINJAUAN TEORI
A.
PENGERTIAN
Fraktur
didefinisikan sebagai deformitas linear atau terjadinya diskontinuitas tulang
yang disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau karena
proses patologis. Fraktur akibat trauma dapat terjadi akibat perkelahian,
kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, luka tembak, jatuh ataupun trauma saat
pencabutan gigi. Fraktur patologis dapat terjadi karena kekuatan tulang
berkurang akibat adanya kista, tumor jinak atau ganas rahang, osteogenesis imperfecta, osteomyelitis, osteomalacia, atrofi tulang secara
menyeluruh atau osteoporosis nekrosis atau metabolic
bone disease. Akibat adanya proses patologis tersebut, fraktur dapat
terjadi secara spontan seperti waktu bicara, makan atau mengunyah.
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Brunner and Suddarth, 2001)
Fraktur
adalah putusnya kontinuitas sebuah tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi.
(Brooker, 2001)
Mandibula
merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian
yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang
padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah
dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan sub
condylus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah dari mandibula. Selain
itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale, angulus mandibula tempat
gigi molar III terutama yang erupsinya sedikit, kolum kondilus mandibula
terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan
diteruskan kearah belakang.
B.
PATOFISIOLOGI
Fraktur
disebabkan oleh adanya trauma (langsung dan tidak langsung), stress fatique (kelelahan akibat tekanan
berulang) dan pathologis. Karena adanya tekanan atau daya yang mengenai
tulang maka akan mengakibatkan
terjadinya fraktur dan perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patahan dan
kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut. Bila terjadi hematoma maka
pembuluh darah vena akan mengalami pelebaran sehingga terjadi penumpukan cairan
dan kehilangan leukosit yang berakibat terjadinya perpindahan, menimbulkan
implamasi atau peradangan yang menyebabkan bengkak dan akhirnya terjadi nyeri.
Selain itu karena kerusakan pembuluh darah kecil atau besar pada waktu terjadi
fraktur menyebabkan tekanan darah menjadi turun, begitupula dengan suplai darah
ke otak sehingga kesadaran pun menurun yang mengakibatkan syok hipovolemi. Bila
mengenai jaringan lunak maka akan terjadi luka dan kuman akan mudah untuk masuk
sehingga mudah terinfeksi dan lama kelamaan akan berakibat delayed union
dan mal union dan yang tidak terinfeksi mengakibatkan non union. Apabila
fraktur mengenai peristeum atau jaringan tulang dan korteks maka akan
mengkibatkan deformitas, krepitasi dan pemendekan ekstremitas. Berdasarkan
proses diatas tanda dan gejalanya yaitu nyeri/tenderness, deformitas/perubahan
bentuk, bengkak, peningkatan suhu tubuh/demam, krepitasi, kehilangan fungsi dan
apabila hal ini tidak teratasi, maka akan menimbulkan komplikasi yaitu
komplikasi umum misalnya : syok, sindrom remuk dan emboli lemak. Komplikasi
dini misalnya : cedera syaraf, cedara arteri, cedera organ vital, cedera kulit
dan jaringan lunak, sedangkan komplikasi lanjut misalnya : delayed union, mal
union, non union, kontraktur sendi dan miossitis ossifycans, avaseural necrosis
dan osteo arthritis.
Pathway
fraktur
Tahap penyembuhan
tulang menurut, (Rasjad, 1998) :
Setelah tulang mengalami
fraktur
1.
Stadium
Hematum
Pada
stadium ini karena pembuluh darah pecah, maka terjadi perdarahan pada daerah
fraktur. Hematum terbentuk mengelilingi daerah tulang yang mengalami fraktur,
kemudian setelah 24 jam aliran darah pada daerah fraktur berkurang sehingga
terjadi penggabungan haematum dengan fibroblast dan membentuk fibrin.
2.
Stadium
proliferasi
Dalam
48-72 jam setelah terjadi fraktur, sel sel jaringan baru mulai terbentuk pada
daerah fraktur.
3.
Stadium
Pembentukan Kallus
Dalam
waktu 6-10 hari fraktur, terjadi perubahan granulasi jaringan dan pembentukan
kallus, pertumbuhan jaringan berlangsung secara terus menerus sampai fragmen
menyatu kembali memerlukan waktu 3-4 minggu.
4.
Stadium
Ossifikasi
Ossifikasi
terjadi 3 -10 minggu, kallus yang menetap berubah menjadi tulang yang kaku,
akibat dari penumpukan garam-garam mineral menutup dan meliputi ujung-ujung
fragmen tulang yang kemudian akan menjadi tulang.
5.
Stadium
konsolidasi
Setelah pembentukan
tulang, kallus diremodeling oleh aktivitas osteoblast dan osteoklast
Jenis-jenis fraktur
antara lain :
1.
Menurut
garis fraktur :
a. Fraktur
komplit : Apabila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua konteks tulang
b.
Fraktur
inkomplit : Apabila garis patah tidak melalui penampang tulang.
2.
Menurut
bentuk fraktur dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a.
fraktur
tranfersal : Fraktur yang garis patahannya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang. Segmen patah tulang direposisi atau direduksi kembali ketempatnya
semula, maka segmen akan stabil dan biasanya akan mudah dikontrol dengan bidai
gips
b.
Fraktur
patah oblique : Fraktur dimana garis patahannya membentuk sudut terhadap
tulang. Fraktur ini tidak stabil.
c.
Fraktur
serial : Fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstremitas. Menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
d.
Fraktur
kompresi : Fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumpuk tulang ketiga yang berada
diantaranya, seperti satu vertebra dengan vertebra lain.
e.
Fraktur
anulasi : Fraktur yang memisahkan fragmen tulang pada tempat insisi tendon atau
ligament. Contohnya fraktur patella
3.
Menurut jumlah garis fraktur
a. Fraktur
komminute : Terjadi banyak garis fraktur atau banyak fragmen kecil yang
terlepas
b. Fraktur
segmental : Apabila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan
sehingga satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk
sembuh.
c.
Fraktur
multiple : Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempat.
4.
Menurut
hubungannya antara fragmen dengan dunia luar
a.
Fraktur terbuka : Apabila terdapat luka yang
menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.
Fragmen terbuka
dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :
Ø Pecah tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit
terkontaminasi ringan, luka kurang dari 1 cm.
Ø Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi lebih besar
dari 1 cm
Ø Luka besar sampai dengan 8 cm, kehancuran otot, kerusakan
neuromaskular, kontaminasi besar.
Ø Grade/derajat fraktur terbuka :
·
Grade
I : Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.
·
Grade
II : fraktur terbuka merobek kulit dan otot.
·
Grade
III : banyak sekali jejas kerusakan kulit otot, jaringan syaraf, pembuluh darah
serta luka sebesar 6-8cm.
b.
Fraktur
tertutup : Terjadi pada tulang yang abnormal atau sakit. Penyebab terbanyaknya
adalah osteoporosis dan osteomalacia.
C.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
Fraktur secara umum menurut, (Rasjad, 1998), Sebelum mengambil keputusan untuk
melakukan penatalaksanaan definitif, prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4R
yaitu :
1.
Recognition
: Diagnosa dan penilaian
fraktur. Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologiy. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatanm komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan.
2.
Reduction, tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan
tulang
Dapat dicapai
dengan manipulasi tertutup atau reduksi terbuka progresi. Reduksi tertutup
terdiri dari penggunaan traksi manual untuk menarik fraktur
kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan normal atau dengan traksi
mekanis. Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal atau tidak
memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat fiksasi internal yang digunakan untuk
mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti
pen, kawat, skrup dan plat. Open Reduction Internal Ficsation (ORIF)
yaitu dengan pembedahan terbuka akan mengimobilisasikan fraktur dengan
melakukan pembedahan untuk memasukkan skrup atau pen ke dalam fraktur yang
berfungsi untuk memfiksasi bagian bagian tulang yang fraktur secara bersama
sama.
3.
Retention,
Imobilisasi fraktur tujuannya untuk mencegah pergeseran fragmen dan Mencegah
pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi (ekstremitas yang mengalami fraktur) adalah
dengan pemasangan wire, plate, traksi.
4.
Rehabilitation,
mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin
D.
PENGKAJIAN
Pengkajian
pada klien fraktur menurut Doengoes, (2000) diperoleh data sebagai berikut :
1.
Aktivitas
(istirahat)
Tanda : Keterbatasan / kehilangan
fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera fraktur itu sendiri atau
terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan nyeri)
2.
Sirkulasi
Tanda
: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri) atau
hipotensi ( kehilangan darah), takikardia ( respon stress, hipovolemia),
penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler
lambat, pucat pada bagian yang terkena pembengkakan jaringan atau massa
hepatoma pada sisi cedera.
3.
Neurosensori
Gejala
: Hilang sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (panastesis)
Tanda
: Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme
otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi, agitasi (mungkin berhubungan dengan
nyeri atau trauma)
2.
Nyeri / kenyamanan
Gejala
: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ; tidak ada
nyeri akibat kerusakan saraf, spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
3.
Keamanan
Tanda
: Laserasi kulit, avulse jaringan, perubahan warna, pendarahan, pembengkakan
local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
4.
Penyuluhan
Gejala : Lingkungan cedera
5.
Pemeriksaan
Diagnostik
a.
Pemeriksaan
roentgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b.
Skan
tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat di gunakan
untuk mengidentifikasi jaringan lunak
c.
Arteriogram
: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.
Hitung
darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi). Peningkatan jumlah SOP
adalah respon stress setelah trauma.
e.
Kreatinin
: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kirens ginjal.
f.
Profil
koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple
atau cedera hati.
E.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Diagnosa
keperawatan menurut Doengoes, (2000) ditemukan diagnosa keperawatan sebagai
berikut :
1.
Risiko tinggi terhadap trauma
berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur).
2.
Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme
otot gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat
traksi/imobilisasi, stress, ansietas
3.
Resiko tinggi terhadap disfungsi
neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran darah :
cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.
4.
Risiko tinggi terhadap kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan pertukaran aliran : darah/emboli lemak,
perubahan membran alveolar/kapiler intestisial, edema paru, kongesti.
5.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler :
nyeri/ketidaknyamanan : terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
6.
Risiko tinggi terhadap kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk : fraktur terbuka : bedah
perbaikan; pemasangan traksi,pen, kawat, skrup, perubahan sensasi, sirkulasi
: akumulasi ekskresi/secret.
7.
Risiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan kulit, trauma
jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang.
8.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interprestasi
informasi/tidak mengenal sumber informasi.
F.
PERENCANAAN
Setelah
diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk
masing masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan
tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
1.
Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang
(fraktur).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperaatan diharapkan trauma
tidak terjadi
Kriteria evaluasi :
1)
Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
2) Menunjukan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas
pada sisi fraktur.
3) Menunjukan pembentukan kallus/mulai penyatuan fraktur
yang tepat.
Intervensi :
1) Pertahankan
tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi, berikan sokongan sendi di atas
dan di bawah fraktur bila bergerak.
2) Letakkan
papan di bawah tempat tidur, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit
dengan bantal pasir, gulungan trochanter, papan kaki.
3)
Kaji integritas alat fiksasi eksternal.
4)
Kaji
tulang foto atau evaluasi.
2. Nyeri (akut)
berhubungan dengan spasme otot gerakan ragmen tulang, edema dan cedera pada
jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang/hilang
Kriteria evaluasi :
1) Menyatakan
nyeri hilang
2) Menunjukan
sikap santai
3) Menunjukan keterampilan penggunaan relaksasi dan
aktifitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi :
1)
Kaji
tingkat nyeri, lokasi nyeri, kedalaman, karakteristik serta intensitas
2)
Pertahankan
imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pemberat, traksi
3) Tinggikan
dan dukung ekstremitas yang terkena.
4)
Berikan
alternatif tindakan kenyamanan misalnya : pijatan dan perubahan posisi.
5)
Ajarkan
menggunakan teknik manajemen stress misalnya : relaksasi progresif, latihan
nafas dalam.
6) Kolaborasi, berikan analgetik sesuai program.
3.
Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan
penurunan/interupsi aliran darah ; cedera vaskuler langsung, edema berlebihan,
pembentukan thrombus, hipovolemia.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan disfungsi neurovaskuler tidak terjadi.
Kriteria evaluasi.
1) Mempertahankan
perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit kering/hangat,sensasi
biasa, tanda vital stabil.
2) Haluaran
urin adekuat untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Evaluasi
adanya atau kualitas nadi perifer distal terhadap cedera melalui palpasi,
bandingkan dengan ekstremitas yang satu.
2)
Kaji
aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
3)
Pertahankan
peninggian ekstremitas yang cedera kecuali dikontraindikasikan dengan keyakinan
danya sindrom kompartement.
4)
Anjurkan
klien untuk secara rutin latihan ROM
5) Beri
obat sesuai indikasi.
4. Risiko tinggi terhadap kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan alairan darah / emboli lemak,
perubahan membrane alveolar/kapiler, edema paru kongesti.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan pertukaran gas tidak
terjadi.
Kriteria evaluasi
:
Mempertahankan fungsi pernafasan
adekuat, dibuktikan oleh tidak adanya dispnea/sianosis, frekuensi pernafasan
dan GDA dalam batas normal.
Intervensi :
1)
Observasi
frekuensi pernapasan dan upayanya.
2)
Instruksikan
dan Bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk, reposisi dengan sering.
3)
Berikan
tambahan O2 bila diindikasikan.
4) Berikan
obat sesuai indikasi.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan kerusakan rangka neuromuskuler : nyeri / ketidaknyamanan : terapi
restriktif (imobilisasi tungkai)
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan mobilitas fisik terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
1)
Meningkatkan/mempertahankan
mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
2) Mempertahankan
posisi fungsional.
3)
Meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
4)
Menunjukan
teknik yang memampukan melakukan aktivitas.
Intervensi :
1) Kaji
derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cidera atau pengobatan dan perhatikan
persepsi klien tehadap imobilisasi.
2) Instruksikan
dan Bantu dalam gerak aktif atau pasif pada ekstremitas yang sakit dan tidak
sakit.
3)
Bantu
dan dorong perawatan diri dan Bantu imobilitas dengan kursi roda dan tongkat.
4) Observasi
TTV.
5)
Konsul
dengan ahli terapi atau okupasi dan spesifikasi rehabilitasi.
6. Risiko tinggi
terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan cedera tusuk : fraktur terbuka:
bedah perbaikan: pemasangan traksi pen, kawat, skrup, perubahan sensasi,
akumulasi eskresi/secret.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
Kriteria evaluasi :
1) Menyatakan
ketidaknyamanan hilang.
2)
Menunjukan
teknik/prilaku untuk mencegah kerusakan kulit.
3)
Mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu.
Intervensi :
1)
kaji
kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan dan perubahan
warna.
2) Massage
kulit dan penonjolan tulang
3) Ubah
posisi sesering mungkin
4) Bersihkan
kelebihan plester dari kulit
5)
Massage
kulit disekitar balutan luka dengan alcohol
6)
Letakan
bantalan pelindung dibawah kaki dandi atas tonjolan tulang.
7.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer ; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur
infasif traksi tulang.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan infeksi tidak terjadi
Kriteria
evaluasi :
Mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drinase purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :
1) Inspeksi
untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas
2) Observasi
tanda tanda infeksi
3) Lakukan
perawatan luka sesuai program
4) Observasi
hasil laboratorium dan tanda tanda vital
5)
Berikan
obat antibiotik sesuai program.
8.
Kurang
pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi,prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi
informasi/tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan mengerti tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.
Kriteria evaluasi :
1)
Menyatakan
pemahaman tentang kondisi prognosis dan pengobatan
2)
Melakukan
dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
1)
Kaji
ulang prognosis dan harapan yang akan datang
2)
Beri
penguat metode mobilotas dan ambulasi sesuai program dengan fisioterapi bila
diindikasikan
3) Anjurkan
penggunaan buck spalk
4) Buat
daftar perkembangan aktifitas sejauh mana klien dapat melakukan tindakan
mandiri dan yang memerlukan bantuan.
G.
PELAKSANAAN
Pelaksanaan merupakan tindakan
mandiri dasar berdasarkan ilmiah, masuk akal dalam melaksanakan yang bermanfaat
bagi klien yang diantisipasi berhubungan dengan duagnosa keperawatan dan tujuan
yang telah ditetapkan (Bulechek and Mc. Closkey, 1985). Pelaksanaan merupakan
pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perencanaan. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat berupa
tindakan mandiri maupun kolaborasi.
Dalam pelaksanaan tindakan langkah
langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana
keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan
strategi tindakan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua
tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan
keperawatan didokumentasiakn dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian
catatan keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan
dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberikan tanda tangan sebagai aspek
legal dari dokumentasi yang dilakukan.
H.
EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari
proses keperawatan yang mengukur seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan
dapat tercapai berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan.
Evaluasi merupakan aspek penting didalam proses keperawatan, karena
menghasilkan kesimpulan apakah perencanaan keperawatan diakhiri atau ditinjau
kembali atau dimodifikasi. Dalam evaluasi prinsip objektifitas, reliabilitas
dan validitas dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat.
Evaluasi proses keperawatan ada dua
yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evalusi proses/formatif adalah
evaluasi yang dilakukan segera setelah tindakan dilakukan dan didokumentasikan pada catatan
keperawatan. Sedangkan evaluasi hasil/sumatif adalah evaluasi yang dilakukan
untuk mengukur sejauh mana pencapaian tujuan yang ditetapkan, dan dilakukan
pada akhir asuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner
dan Suddarth, ( 2002 ), Buku Ajar Perawatan Medikal Bedah, Volume
2, Edisi 8, Alih Bahasa : dr. Andry
Hartono, dr. H.Y.Kuncara, Elyna S. Laura Siahan, S.kp dan Agung waluyo, S.Kp.
Jakarta : EGC
Carpenito-moyet, Lynda juall, (2006), buku
saku diagnosis keperawata, edisi 8, alih bahasa : yasmin asih. Jakarta
: EGC
Corwin,
Elizabeth. J, ( 2001 ), Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn. E. at al, ( 2000 ), Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman Perencanaan Pendokumentasaian
Perawatan Pasien, edisi 3, Alih Bahasa : I Made Kariasa, S. Kp, Ni Made
Sumarwati,S. Kp, Monica Ester, S. Kp, Yasmin Asih, S. Kp. EGC, Jakarta
Muttaqin,Arif. (2011).Buku Saku Gangguan
Muskuloskeletal: Aplikasi Pada Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta :
EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar