Senin, 17 Desember 2012

ASKEP LIMFOMA MALIGNA


TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Pengertian tentang limfoma maligna antara lain menurut Danielle, (1999) bahwa limfoma adalah malignansi yang timbul dari sistem limfatik. Pengertian lain tentang limfoma maligna  menurut Susan Martin Tucker, (1998) adalah suatu kelompok neoplasma yang berasal dari jaringan limfoid. Sedangkan menurut Suzanne C. Smeltzer, ( 2001), mengemukakan bahwa limfoma maligna adalah keganasan sel yang berasal dari sel limfoid. Pengertian lain tentang limfoma maligna menurut Doenges, (1999) adalah kanker kelenjar limfoid. Pengertian lain yang diperoleh dari www.trigonum.or.id, (2007) mendefinisikan bahwa limfoma maligna ialah tumor padat yang berasal dari jaringan limfoid.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa limfoma maligna adalah suatu jaringan tumor padat yang berasal dari sel limfoid dan bersifat ganas.

B. Patofisiologi
Limfoma maligna ini berasal dari sel limfosit. Tumor ini biasanya bermula dari nodus limfe, tetapi dapat melibatkan jaringan limfoid dalam limpa, traktus gastrointestinal (misalnya dinding lembung), hati, atau sumsum tulang. Sel limfosit dalam kelenjar limfe

juga berasal dari sel-sel indik multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial pada tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami pematangan dalam kelenjar thymus untuk menjadi limfosit T, dan sebagian lagi menuju kelenjar limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B. Apabila ada rangsangan oleh antigen yang sesuai maka limfosit T maupun B akan bertransformasi menjadi bentuk aktif dan berpoliferasi. Limfosit T aktif menjalankan fungsi respon imunitas seluler. Sedangkan limfosit B aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin. Perubahan limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal ini terjadi didalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada di luar centrum germinativum sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral centrum germinativum. Apabila  membesar maka dapat menimbulkan tumor dan apabila tidak ditangani secara dini maka menyebabkan limfoma maligna.

Penyebab tumor ini tidak diketahui dengan jelas, namun terdapat  beberapa faktor risiko antara lain : imunodefisiensi, agen infeksius, paparan lingkungan dan pekerjaan (seperti  pekerja hutan, petrnak dan pertanian), terkena paparan ultraviolet, merokok, dan mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani. Tanda dan gejala yang timbul antara lain kelelahan, malaise penurunan berat badan, peningkatan suhu, kerentanan infeksi, disfagia anoreksia, mual, muntah, konstipasi, anemia, timbul edema anasarka, tekanan darah turun, sesak nafas bila tumbuh di daerah dada dan kelainan/pembesaran organ. Apabila kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka dapat menimbulkan komplikasi yaitu efusi pleura, fraktur tulang, paralisis dan kematin pasti terjadi dalam 1 sampai 3 tahun bila tanpa penanganan.   

C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien limfoma maligna terdiri atas penatalaksanaan medis/farmakoterapi dan penatalaksanaan keperawatan.
1. Penatalaksanaan medis/farmakoterapi. Menurut Brunner and Suddarth, (2001), Danielle Gale, (1999)  :
a.   Kemoterapi oral seperti klorambusil (leukeran) dengan atau tanpa prednison. Karena penyakit ini menjadi progresif lalu direkomendasikan pendekatan yang agresif, dengan menggunakan kemoterapi kombinasi yang meliputi siklofosfamid, vinkristin, vinblastin, bleomisin dan doksorubisin. Efek jangka panjang dari kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
b. Terapi radiasi dilakukan hanya jika penyakit ini terlokalisasi pada daerah-daerah tertentu. Tujuan terapi radiasi adalah menghancurkan sel-sel tumor. Efek samping terapi radiasi bila pada area nodus limfa servikal atau tenggorokan, maka akan terjadi mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi salifa serta peningkatan karies gigi, sedangkan bila pada area nodus limfa abdomen, maka akan terjadi muntah, diare keletihan, anoreksia dan supresi sumsum tulang.
c.  CT scan hati dan limpa dilakukan untuk mengidentifikasi keterlibatan organ tersebut terhadap tumor.
d. Thorax foto tulang pelvis vertebra, dan tulang panjang, dilakukan untuk mengidentifikasi keterlibatan organ tersebut terhadap tumor.
e.  Biopsi sumsum tulang untuk menentukan keterlibatan sumsum tulang, invasi sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
f.   Biopsi nodus limfa untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.
g. Skintigrafi Gallium-67 berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodus, khususnya diatas diafragma.
h. Ultrasound abdominal untuk mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal.
i.   Tomografi paru keseluruhan atau skan CT dada dilakukan bila adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediastinum.
j. Tindakan pembedahan laparatomy dilakukan bila penyakit ini diduga berada              di bawah diafragma tetapi berisiko terjadi perdarahan atau poliferasi.

2. Penatalaksanaan keperawatan, menurut Brunner and Suddarth (2000), dalam memberikan perawatan dan pendidikan klien. Klien sering merasa takut terhadap obat-obatan yang bersifat radioaktif dan memerlukan tindakan penjagaan serta pengawasan tindak lanjut yang khusus karena itu perawat harus menyampaikan informasi tentang terapi ini dan menenangkan perasaan klien dan keluarga. Untuk klien post operasi laparatomy, klien dianjurkan untuk istirahat serta menghindari regangan pada jahitan luka. Kassa penutup luka operasi harus dikaji secara periodik untuk mengetahui adanya peradahan atau tidak dan lakukan perawatan luka setiap hari sesuai program, untuk mengobservasi tanda-tanda infeksi.

D. Pengkajian
Pengkajian pada klien limfoma maligna menurut Doenges, (1999) diperoleh data sebagai berikut :
1. Aktifitas/istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan, atau malaise umum, kehilangan prodiktifitas dan penurunan toleransi latihan.
Tanda : penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban, dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan.

2. Sirkulasi
Gejala  :  palpitasi, angina/nyeri dada.
Tanda  : takikardia, disritmia, sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang jarang), ikterusskelera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu oleh pembesaran nodus limfa, pucat (anemia), diaforesis, keringat malam hari.
 
3. Integritas ego
Gejala  : faktor stress, takut/ansietas sehubungan dengan diagnosis dan kemungkinan takut mati, tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi).
Tanda   :  berbagai perilaku, misal marah menarik diri, pasif

4. Eliminasi
Gejala  : perubahan karakteristik urine dan feses, riwayat obstruksi intususepsi, atau sindroma malabsorpsi (infiltrasi dari nodus limfa retro peritoneal)
Tanda : nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali), nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali), penurunan haluaran urine, urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretral/gagal ginja), disfungsi usus dan kandung kemih.

5. Makanan/cairan
Gejala  : anoreksia/kehilangan nafsu makan, disfagia (tekanan pada esofagus) Adanya penurunan berat badan.
Tanda  : pembengkakan pada wajah, leher, rahang, atau tangan kanan (sekunder terhadap kompensasi vena kava superior oleh pembesaran nodus limfa), edema ekstermitas bawah sehubungan dengan obtruksi  vena kava inferior dari pembesaran nodus limfa intraabdominal (non-hodgkin), Asites (obtruksi  vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intra abdominal)

6. Neurosensori
Gejala  : nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pleksus sakral, kelemahan otot, parestesia.
Tanda  : status mental ; letargi, menarik diri, kurang minat umum terhadap sekitar, paraplegia (kompresi btang spinal dari tubauh vertebral, keterlibatan diskus pada kompresi/degenerasi atau kompresi suplai darah terhadap batang spinal)

7. Nyeri/kenyamanan
Gejala  : nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena, mis pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral) nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus), nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.
Tanda  : fokus pada diri sendiri, prilaku berhati-hati.

8. Pernapasan
Gejala   :  dispnea pada kerja atau istirahat ; nyeri dada
Tanda  : dispnea ; takikardia, batuk kering non-produktif, tanda distres pernapasan ; peningkatan frekuensi pernafasan dan kedalaman, penggunaan otot bantu, stridor, sianosis, parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal).

9. Keamanan
Gejala  : riwayat sering/adanya infeksi, riwayat mononukleus, riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster, demam, keringat malam tanpa menggigil, kemerahan/pruritus umum
Tanda  : demam menetap tanpa gejala infeksi, nodus limfe simetris, tak nyeri, membengkak/membesar, pembesaran tonsil, pruritus umum, sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitilago).

10. Seksualitas
Gejala  : masalah tentang fertilitas/kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi, tetapi pengobatan mempengaruhi), penurunan libido.


E. Diagnosa Keperawatan
Setelah data dikumpulkan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan. Menurut Doenges (1999), diagnosa keperawatan pada klien post operasi laparatomy + biopsy dengan indikasi limfoma maligna sebagai berikut :
1.   Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, insisi bedah
2.  Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan berlebihan, misal : muntah, perdarahan, diare.
3.   Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.
4.  Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan  energi, peningkatan laju metabolik dari produksi leukosit masif.
5.  Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan proses pencernaan.
6.  Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan darah dan nutrisi kejaringan sekunder pembedahan.
 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang akurat  mengenai perawatan di rumah.

F. Perencanaan
Setelah dignosa keperawatan ditemukan, maka dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas dignosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :



1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, insisi bedah
Tujuan : tidak terjadi infeksi atau penyebaran infeksi
Kriteria Evaluasi :
a) Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/inflamasi, drainase purulen, eritema, dan demam
b)  Tidak menunjukkan merah, bengkak, pada daerah luka
c)  Luka kering bebas dari drainase purulen, eritema, demam, bengkak, dan nyeri
d)  Leukosit dalam batas normal 4800-10800 /ul
Intervensi :
a)  Monitor  tanda-tanda vital tiap 8 jam, perhatikan demam, menggigil, meningkatnya
     nyeri
b)  Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik
c) Observasi tanda-tanda infeksi seperti nyeri, panas, merah dan bengkak pada luka
     operasi, catat karakteristik luka, adanya eritema, dan  daerah pemasanngan infus
d)  Lakukan perawatan luka secara aseptik dan antiseptik sesuai program
d)  Berikan informasi yang tepat, jujur pada pasien
e)  Berikan antibiotik sesuai indikasi.

2. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
berlebihan, misal : muntah, perdarahan, diare.
Tujuan : volume cairan adekuat atua dapat dipertahankan



Kriteria Evaluasi :
a) Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan oleh kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil, dan secara individual haluaran urine adekuat
b)  Masukan dan keluaran seimbang (balance).
Intervensi :
a)  Monitor TTV tiap 8 jam
b)  Monitor intake dan output (hitung balance cairan dalam 24 jam)
c)  Observasi adamya perdarahan yang berlabihan
d)  Observasi karakteristik luka terhadap adanya peradangan, juga balutan agar tetap
      kering
e)  Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler
f)  Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus
g)  Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan per oral dimulai, dan
      lanjutkan dengan diet sesuai toleransi
h)  Berikan cairan IV dan elektrolit.

3.  Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.
Tujuan : nyeri hilang, minimal berkurang atau dapat dikontrol
Kriteria Evaluasi :
a)  Melaporkan nyeri hilang/terkontrol
b)  Tampak rileks, mampu tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a)  Ukur TTV tiap 8 jam
b)  Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan
     perubahan nyeri dengan tepat
c)  Pertahankan istirahat dengan posisi semi-Fowler
d)  Dorong ambulasi diri
e)  Berikan aktivitas hiburan
f)  Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam bila nyeri nyeri timbul atau teknik mengalihkan
     perhatian
g)  Berikan analgesik sesuai indikasi
h)  Berikan kantong es pada abdomen

4.  Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan cadangan  energi, peningkatan laju metabolik dari produksi leukosit masif.
Tujuan :  klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Kriteria Evaluasi :
a)  Laporan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur
b)  Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan
c)  Menunjukkan penurunan tanda fisiologis tidak toleran, misal ; nadi, pernafasan, dan tekanan darah masih dalam batas normal.
Intervensi :
a)   Evaluasi laporan kelemahanm, perhatikan ketidakmampuan untuk beraprtisipasi
      dalam aktifitas sehari-hari
b)  Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan. Dorong istirahat sebelum makan

c)   Implementasikan teknik penghematan energi. Bantu ambulasi/aktifitas lain sesuai
      indikasi
d)   Berikan kebersihan mulut sebelum makan dan berikan antiemetik sesuai indikasi.

5.  Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan masukan diet, perubahan
proses pencernaan.
Tujuan : klien dapat BAB sesuai dengan polanya setiap hari
Kriteria Evaluasi :
a) Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus
b) Menunjukkan perubahan prilaku/pola hidup, yang diperlukan sebagai penyebab,
    faktor pemberat
c) Frekuensi bising usus 3-15 x/menit
d) BAB lembek dan lancar serta tidak nyeri pada saat BAB.
Intervensi :
a)  Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi, dan jumlah
b)  Auskultasi bunyi usus
c)  Awasi masukan dan haluaran dengan perhatian khusus pada makanan/cairan
d)  Dorong masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung
e)  Hindari makan yang mengandung gas
f)  Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan dalam kondisi kulit atau mulai kerusakan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare
g)  Konsul dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang dengan tinggi serat dan bulk.

h) Berikan pelembek feses, stimulasi ringan, laksatif pembentuk bulk, atau enema sesuai
     indikasi, pantau keefektifan
i)  Berikan obat antidiare, misal ;difenoksilat hidroklorida dengan atropin (Lomotil) dan
    obat pengabsorbsi air, misal Metamucil.

6.  Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan darah dan nutrisi kejaringan sekunder pembedahan.
Tujuan : tidak terjadi kerusakan integritas kulit atau integritas kulit dapat dipertahankan
Kriteria Evaluasi :
a)  Mempertahankan integritas kulit
b)  Mengidentifikasi faktor risiko/prilaku individu untuk mencegah cedera dermal
c)  Tidak ada iritasi pada daerah luka operasi
e)  Tidak ada lesi

Intervensi :
a)  Kaji integritas kulit, cata perubahan pada turgor kulit, gangguan warna hangat lokal, eritema, ekskoriasi 
b)  ubah posisi secara periodik dan pijat permukaan tulang bila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur
c)  Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun
d)  Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif.

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang akurat  mengenai perawatan di rumah.
Tujuan : mengatakan pengertiannya tentang prosedur pembedahan dan penanganannya
Kriteria Evaluasi :
a)  Klien atau orang terdekat mengungkapkan pengertian tentang perawatan di rumah dan perawatan tindak lanjut
b)  Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan potensial komplikasi
c)  Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
a)   Kaji ulang pembatasan aktifitas pascaoperasi
b)  Diskusikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi, dan kembali kedokter untuk mengangkat jahitan/pengikat
c)  Idenifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh, peningkatan nyeri ; edema/eritema luka, adanya drainase , demam.



DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. (2002). Text Book of Medical – Surgical Nursing (Agung, Penerjemah). Philadelphia :  Lippincott (Sumber asli diterbitkan 1997).

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Hand Book Of  Nursing Diagnosis. (Monica Ester, Penerjemah). Philadelphia. PA 19106.USA (Sumber asli diterbitkan 1999).

Doenges, M. (2000). Nursing Care Planns (I Made Kariasa, Penerjemah). Philadelphia. F.A Davis Company. (Sumber asli diterbitkan 1993).

Gale, Danielle. (2000). Oncology Nursing Care Plans (I Made Kariasa, Penerjemah). Texas : Skidmore-Roth Publshing (Sumber asli diterbitkan 1995).

Niakurniasih, Sudiariandini S. (1997). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

Trigonum. Profil Penderita Limfoma Maligna. Diambil pada 16 Juli 2007 dari www.trigonum.or.id, 2007

Tucker, S. (1998). Patient Care Standarts : Nursing Process, Diagnosis, and Outcome. (Yasmin, Penerjemah) California ; Mosby. (Sumber asli diterbitkan 1992).




ASKEP OSTEOMALASIA


TINJAUAN TEORI
  1.  Definisi Osteomalasia
Osteomalasia adalah penyakit metabolisme tulang yang dikarakteristik oleh kurangnya mineral dari tulang (menyerupai penyakit yang menyerang anak-anak yang disebut rickets) pada orang dewasa, osteomalasia berlangsung kronis dan terjadi deformitas skeletal, terjadi tidak separah dengan yang menyerang anak-anak karena pada orang dewasa pertumbuhan tulang sudah lengkap (komplit).( Smeltzer. 2001: 2339 )
Osteomalasia adalah penyakit pada orang dewasa yang ditandai oleh gagalnya pendepositan kalsium kedalam tulang yang baru tumbuh. Istilah lain dari osteomalasia adalah ”soft bone” atau tulang lunak. Penyakit ini mirip dengan rakitis, hanya saja pada penyakit ini tidak ditemukan kelainan pada lempeng epifisis (tempat pertumbuhan tulang pada anak) karena pada orang dewasa sudah tidak lagi dijumpai lempeng epifisis. (http://www.klikdokter.com/illness/detail/99)
Osteomalasia ialah perubahan patologik berupa hilangnya mineralisasi tulang yang disebabkan berkurangnya kadar kalsium fosfat sampai tingkat di bawah kadar yang diperlukan untuk mineralisasi matriks tulang normal, hasil akhirnya ialah rasio antara mineral tulang dengan matriks tulang berkurang.


  1. Etiologi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami osteomalasia yaitu:
a.    Anak kekurangan kalsium dan vitamin D. Anak yang kekurangan kalsium akan mengalami gangguan pada proses mineralisasi. Demikian juga apabila ia kekurangan vitamin D. Di dalam tubuh vitamin D berfungsi membantu penyerapan kalsium di dalam tubuh. Jika kedua unsur ini tidak terpenuhi makan tulang-tulang si kecil menjadi lunak dan mudah patah. Proses mineralisasi adalah proses proses terakhir pembentukan tulang. Jika kebutuhan kalsium anak tercukupi maka otomatis proses mineralisasi dalam tubuhnya akan berlangsung dengan baik.
b. Anak menderita gangguan hati seperti sirosis. Hal ini karena organ hatinya tak mampu memroses vitamin D sehingga fase mineralisasi tidak terjadi.
c. Adanya gangguan fungsi ginjal sehingga proses ekskresi/pembuangan kalsium akan meningkat. Dengan begitu proses mineralisasi akan terhambat.
d. Pemakaian obat dalam jangka waktu panjang. Pada kasus tertentu, efek pemakaian obat seperti streroid dalam jangka waktu yang panjang rentan terhadap penyakit ini.
e. Gangguan malabsorbsi

Penyebab utama osteomalasia yang terjadi setelah masa anak-anak ialah :
1.     Menurunnya penyerapan vitamin D akibat penyakit bilier, penyakit mukosa usus halus proksimal dan penyakit ileum.
2.    Peningkatan katabolisme vitamin D akibat obat yang me- nyebabkan peningkatan kerja enzim-enzim oksidase hati.
3.    Gangguan tubulus renalis yang disertai terbuangnya fosfat (acquired), renal tubular acidosis yang disertai disproteinemia kronik
  1.  Anatomi Fisiologi Tulang
Anatomi system skelet ada 206 tulang dalam tubuh manusia ,yang terbagi dalam kategori tulang panjang ,tulang pendek ,tulang pipih dan tulang tak teratur .Bentuk dan kontriksi tulang tertentu ditentukan oleh fungsi dan gaya yang bekerja padanya .
Tulang tersusun oleh jaringan tulang kanselus atau kortikal .tulang terdiri atas batang tulang (diafisis) yang terdiri dari kortikal. Ujung tulang panjang yang disebut epifisis dan terutama tersusun oleh tulang canselus. Plat epifisis memisahkan epifisis dari diafisis dan merupakan pusat pertumbuhan longitudinal pada anak – anak. Ujung tulang panjang di tutup oleh kartilago artikular pada sendi-sendinya. Tulang panjang disusun untuk menyangga berat badan dan gerakan. Tulang pendek terdiri dari tulang canselus ditutupi selapis tulang kompak. Tulang pipih merupakan tempat penting untuk hematopoesis ,dan sering memberikan perlindungan bagi organ vital. Tulang pipih tersusun dari tulang calselus diantara 2 tulang kompak. Tulang tak tetratur mempunyai bentuk yang unik ,sesuai dengan fungsinya.secara umum struktur tulang tak teratur sama dengan tulang pipih .
Tulang tersusun atas sel ,matriks tulang ,protein dan deposit mineral ,sel – sel nya terdiri atas 3 jenis dasar yaitu Ostoblas ,Osteosit dan Osteosklas .
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang .matrik tulang tersusun atas 98% kolagen dan 2% substansi dasar dan proteiglikan .matrik merupakan kerangka dimana garam – garan mineral anorganik ditimbun .
Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon . Osteoklas adalah sel multi nuclear yang berperan dalam penghancuran , resobsi dan remodeling tulang .osteon merupakan unit fungsional mikroskopis tulang dewasa .di tengah osteon terdapat kapiler .di keliling kapiler tersebut merupakan matrik tulng yang disebut lamella .di dalam lamella terdapat osteosit yang memperoleh nutrisi melaui proses yang berlanjut ke dalam kanalikuli yang halus .
  1. Patofisiologi
          Ada berbagai macam penyebab dari Osteomalasia yang umumnya menyebabkan gangguan metabolism mineral. Factor  yang berbahaya untuk osteomalasia adalah kesalahan diet, malabsobrsi, gastrectomi, GGK,terapi anticonvilsan jangka lama ( phenyton, phenorbar bital ) dan insufisiensi vitamin D ( diet sinar matahari ).

              Tipe malnurisi ( defisiensi vitamin D sering di goolongkan dalam hal kekurangan kalsium ) terutama gangguan fungsi kerusakan tetapi factor dan kurangnya pengetahuan tentn nutrisi yang juga dapat menjadi factor pencetus hal itu terjadi dengan frekuensi tersering dimana kandungan vitamin D dalam makanan kurang dan adanya kesalahan diet serta kekurangan sinar matahari.
              Osteomalasia kemungkinan terjadi sebagai akibat dari kegagalan dari absorbsi kalsium atau kekurangan kalsium dari tubuh. Gangguan gastrointestinal dimana kurangnya absorbsi lemak menyebabkan osteomalasia. Kekurangan lain selain vitamin D(semua vitamin yang larut dalam lemak) dan kalsium. Ekskresi yang paling terakhir terdapat dalam faeces bercampur dengan asam lemak(fatty acid).
              Sebagai contoh dapat terjadi gangguan diantaranya celiac disease, obstruksi system pencernaan kronik, pancreatitis kronis dan reseksi perut yang kecil.
              Lagi pula penyakit hati dan ginjal dapat menyebabkan kekurangan vitamin D, karenanya organ – organ tersebut mengubah vitamin D ke dalam untuk aktif. Terakhir , hyperparatiroid menunjang terjadinya kekurangan pembentukan kalsium, dengan demikian osteomalasia menyebabkan kenaikan ekskresi fosfat dalam urine.   
  1.  Manifestasi Klinis Osteomalasia
Umumnya gejala yang memperberat dari osteomalasia adalah :
·         nyeri tulang dan kelemahan. Sebagai akibat dari defisiensi kalsium, biasanya terdapat kelemahan otot, pasien kemudian nampak terhuyung-huyung atau cara berjalan loyo/lemah.. Nyeri tulang yang dirasakan menyebar, terutama pada daerah pinggang dan paha
·         Kemajuan penyakit, kaki terjadi bengkok (karena tinggi badan dan kerapuhan tulang), vertebra menjadi tertekan, pemendekan batang tubuh pasien dan kelainan bentuk thoraks (kifosis).
·         Penurunan berat badan
·         Anoreksia
·         Pada anak – anak
·          Munculnya tonjolan tulang pada sambungan antara tulang iga dan tulang rawan di bagian dada.
·         Tulang terasa lunak dan jika disenduh akan merasakan nyeri mengigit
·         Sakit pada seluruh tulang tubuhnya
·         Mengalami gangguan motorik karena kurang beraktivitas dan menjadi pasif.
·         Merasakan sakit saat duduk&mengalami kesulitan bangun dari posisi duduk ke posisi berdiri.
·         Mudah Sekali mengalami patah tulang. Terutama di bagian tulang panjang seperti tulang lengan atau tulang kaki.
F.Penatalaksanaan
     a.   Penatalaksanaan medik
  • Jika penyebabnya kekurangan vitamin D, maka dapat disuntikkan vitamin D 200.000 IU per minggu selama 4-6 minggu, yang kemudian dilanjutkan dengan 1.600 IU setiap hari atau 200.000 IU setiap 4-6 bulan.
  • Jika terjadi kekurangan fosfat (hipofosfatemia), maka dapat diobati dengan mengonsumsi 1,25-dihydroxy vitamin D.
     b.  Penatalaksanan non medik
  •  Jika kekurangan kalsium maka yang harus dilakukan adalah memperbanyak konsumsi unsur kalsium. Agar sel osteoblas (pembentuk tulang) bisa bekerja lebih keras lagi. Selain mengkonsumsi sayur-sayuran, buah, tahu, tempe, ikan teri, daging, yogurt. Konsumsi suplemen kalsium sangatlah disarankan.
  • Jika kekurangan vitamin D, sangat dianjurkan untuk memperbanyak konsumsi makanan seperti ikan salmon, kuning telur, minyak ikan, dan susu. Untuk membantu pembentukan vitamin D dalam tubuh cobalah sering berjemur di bawah sinar matahari pagi antara pukul 7 - 9 pagi dan sore pada pukul 16 -­ 17. 




DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda juall. 2001. Dokumentasi Asuhan Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.
Doenges, E, Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan keperawatan pasien. Edisi 3 . Jakarta : EGC.
Price, Sylvia & Loiraine M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Brenda G. bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Vol III. Edisi 8. Jakarta : EGC.

Minggu, 16 Desember 2012

ASKEP KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)


TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian
Kolelitiasis adalah batu yang terbentuk oleh colesterol, kalsium, bilirubinat atau campuran yang disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu ( Marlyn E Doengoes, 2000).

Batu empedu adalah endapan satu atau lebih komponen empedu berupa kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu, kalsium dan protein (Sylvia A Price,1998).

Kolelitiasis adalah obstruksi pada saluran empedu (duktus koledukus) yang disebabkan oleh batu, yang kemudian menghambat aliran empedu dan menyebabkan proses inflamasi akut ( Susan Martin Tucker, 1998 ).

Kolelitiasis adalah adanya batu empedu dan dapat langsung diteruskan dengan pembedahan eksplorasi ( Theodore R. Schorock, MC, 1995)

Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kolelitiasis adalah endapan satu atau lebih komponen empedu berupa kolesterol, bilirubin, garam-garam empedu, kalsium dan protein, yang kemudian menghambat aliran empedu dan menyebabkan proses inflamasi akut.

B. Patofisiologi



Jenis jenis batu empedu :


1.      Batu colesterol : pembentukan batu ini dipengaruhi oleh factor makanan
2.      Batu pigmen hitam : terbentuk karena gangguan keseimbangan metabolik pada anemia hemolitik ataupun sirosis hepatis
3.      Batu kalsium : berbentuk kecil-kecil, tidak teratur, berjumlah banyak, berwarna kecoklatan, kemerahan atau hitam.

C.     Penatalaksanaan
1.      Penatalaksanaan medis
a.       Penatalaksanaan operatif
1)      Kolesistektomi : Bandung empedu dibuka, batu dan cairan empedu dikeluarkan. Sebuah drain ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah empedu.
2)      Koledosistotomi : insisi pada duktus koledukus untuk mengeluarkan batu
b.      Penatalaksanaan instrumentatif
1)      ESWL (Extra Corporeal Shock Wave Litotripsi) : memecah batu dengan gelombang kejut
2)      ERCP (Ekstra Corporeal Reseksi Colangio Prosedur) : memotong serabut mukosa spikter addi sehingga spinkter terbuka. 
c.       Penatalaksanaan  konservatif
1)      Dengan pengobatan simtomatik : antibiotic, anti emetic, vit K
2)      Diet rendah lemak
3)      Pemberian obat Urodoksikolat (pelarut batu )
2.      Penatalaksanaan keperawatan
  1. Meredakan nyeri
  2. Memperbaiki status nutrisi
  3. Pengaruran diet TKTP, rendah lemak
  4. Support Mental pada pre operasi

D.    Asuhan Keperawatan
1.      Data Dasar Pengkajian
a.       aktivitas dan istirahat ( gelisah, kelemahan )
b.      sirkulasi : takikardi, berkeringat
c.       eliminasi : perubahan warna urine/feses, teraba masa pada kwadran atas abdomen
d.      makanan dan cairan : anoreksia, mual, muntah
e.       nyeri/ kenyamanan : kolik adomen menyebar ke punggung dan bahu kanan, distensi abdomen dan nyeri tekan pada kwadran abdomen atas
f.       pernapasan : peningkatan frekuensi pernapasan, napas pendek dan dangkal
g.      keamanan : demam, menggigil, ikterik, berkeringat dan gatal
h.      penyuluhan / pembelajaran : kecenderungan keluarga untuk menjadi batu empedu, adanya kehamilan / melahirkan : riwayat DM, penyakit inflamasi usus

Pemeriksaan Diagnostik
a.       Darah lengkap : lekositosis sedang
b.      Bilirubin dan amilase : meningkat
c.       Enzim hati serum-AST(SGOT);ALT(SGPT);LDH;agak meningkat, ditandai obstruksi bilier
d.      Kadar protrombin : menurun bila obstrksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorsi vitamin K
e.       Ultrasond : menyatakan kalkuli dan distensi kandung empedu dan / duktus empedu
f.       Kolangiopankreatografi retrograd endoskopik : memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum
g.      Kolangiografi transhepatik perkutaneus : pembedaan gambaran denganfluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik ada)
h.      Kolesistogram ( untuk kolesistitis kronik ) : menyatakan  batu pada sistem empedu. Kontraindikasi pada kolesistitis karena pasien terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut
i.        Skan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu dan membedakan antara ikterik obstruksi / non obstruksi
j.        Skan hati ( dengan zat radioaktif ) : menunjukkan obsruksi percabangan bilier
k.      Foto abdomen ( multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu
l.        Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri

2.      Diagnosa keperawatan
1)      Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi, spasme, proses iflamasi, iskemik jaringan, infeksi
2)      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake cairan yang tidak adekuat akibat muntah
3)      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat akibat mual, muntah, dispepsia
4)      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi

3.      Perencanaan
Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi, spasme, proses iflamasi, iskemik jaringan, infeksi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang
Kriteria hasil : melaporkan nyeri berkurang, menunjukkan keterampilan relaksasi, mempertahankan ekspresi yang rileks.
Intervensi : observasi dan catat lokasi, beratnya dan karakter nyeri; tingkatkan tirah baring; beri posisi yang nyaman, dorong menggunakan teknik relaksasi; kontrol suhu lingkungan, berikan obat analgetik sesuai program.

Dx 2 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake cairan yang tidak adekuat akibat muntah
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria Hasil : klien mengatakan sudah tidak muntah lagi, membran mukosa lembab, turgor kulit elastis, dan pengisian kapiler baik.
Intervensi : pertahankan masukan dan haluaran akurat, awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya muntah, hindarkan dari lingkungan yang berbau, lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut, sarankan untuk minum banyak kurang lebih 8 gelas/hari, dan berikan obat antiemetik sesuai program.

Dx 3 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang tidak adekuat akibat mual, muntah, dispepsia
Tujuan : setelah dilakukan tidakan keperawatan diharapkan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil : mual muntah hilang, menunjukkan kemajuan pencapaian BB atau mempertahankan BB klien.
Intervensi : kaji distensi abdomen, pantau bising usus, timbang BB,berikan suasana menyenangkan pada saat makan, sajikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan kedaan hangat, hitung pemasukan kalori, kolaborasi untuk konsul dengan ahli diet.

Dx 4 : Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi
Tujuan : setelah dilakukan tidakan keperawatan diharapkan pengetahuan klien bertambah
Kriteria hasil : pasien menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan, mengngkapkan pengertian tentang kebutuhan perencanaan diet potensial dan peningkatan distres kandung empedu
Intervensi : beri penjelasan, kaji ulang proses penyakit, kaji ulang program obat, diskusikan pentingya program penurunan berat badan bila diindikasikan, anjurkan klien untuk menghindari makanan tinggi lemak.



DAFTAR PUSTAKA


 Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Mendikal Bedah volume 2 edisi 8.  Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Jull.1998. Diagnosa Keperawatan edisi 6. Jakarta: EGC
Dr.Tambayon jan.2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakata: EGC
 Marilynne Doengoes dkk.1999. Rencana Asuhan keperawatan edisi 3.Jakarta: EGC
 Nealon F Thomas,William H Nualan.1996. keterampilan pokok ilmu bedah edisi IV. Jakarta: EGC
Price A. Sylvia, lorraine M Wilson.2005. Patofisiologi konsep-konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6, volume 1. Jakarta: EGC
 Soeparman.1994. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi 2. Jakarta. FKUI
 Sudarmaji, Walid.2007.Hand out KMB 3.Asuhan Keperawatan Batu Empedu. Jakarta: AKPER RSPAD Gatot soebroto
Tucker Martin susan dkk.1998. Standar perawatan pasien volume 2. Jakarta: EGC
Keperawatankita’s blog dari Http://Keperawatan kita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-serta-askepnya/diambil tanggal 26 Januari 2010